Gunung Raung
Sejarah Gunung Raung
Gunung
Raung adalah sebuah gunung yang besar dan unik dan Gunung Raung merupakan
bagian dari kelompok pegunungan Ijen yang terdiri dari beberapa gunung,
diantaranya Gunung Suket (2.950mdpl), Gunung Raung (3.332mdpl), Gunung Pendil
(2.338), Gunung Rante (2.664), Gunung Merapi (2.800), Gunung Remuk (2.092), dan
Kawah Ijen. Keunikan dari Puncak Gunung Raung adalah kalderanya yang sekitar
500 meter dalamnya, selalu berasap dan sering menyemburkan api. Gunung Raung
termasuk gunung tua dengan kaldera di puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak
kecil, menjadikan pemandangannya benar-benar menakjubkan. Selain itu gunung ini
juga terletak di paling ujung pulau jawa bahkan keindahan gunung ini dapat kita
lihat dari pulau dewata bali, tepatnya ketika kita berada di pantai Lovina
Singaraja Bali Utara pada akhir siang atau ketika sunset di Lovina Beach.
Jajaran pegunungan di timur pulau jawa ini memiliki keindahan yang sangat unik.
Gunung ini terletak di Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. Gunung api raksasa ini
muncul di sebelah timur dari suatu deretan puing gunung api yang berarah barat
laut–tenggara. Di Puncaknya terdapat sebuah kaldera yang berbentuk elips dan
terdapat kerucut setinggi kurang lebih 100 m dan menpunyai puncak 3.332 mdpl
(Anamko,2012).
Berdasarkan Data
Dasar Gunung Api Indonesia (2011), Raung tercatat meletus pertama kali pada
tahun 1586. Disebutkan, letusan tahun itu sangat dahsyat dan menimbulkan korban
jiwa. Namun, tidak disebutkan berapa banyak korbannya. Pada tahun 1638, Raung
kembali meletus hebat disertai banjir besar dan aliran lahar melanda Kali Stail
dan Kali Klatak. Korban jiwa mencapai ribuan orang. Saat itu, di kawasan
tersebut berdiri Kerajaan Macan Putih di bawah pemerintahan Pangeran
Tawangulun. Hingga tahun 1989, terjadi 43 letusan di Gunung Raung
(Sofyan,2012).
Geolog dari Museum
Geologi Bandung, Indyo Pratomo, mengatakan, Raung memiliki jejak debris
avalanches, bahaya lain dari gunung api selain awan panas dan banjir lahar hujan,
sebagaimana terjadi di Gunung Galunggung, Jawa Barat. Debris avalanches
merupakan produk dari longsornya sebagian tubuh gunung api, terutama karena
aktivitas magmatik. Sumbat yang terlalu kuat di puncak gunung menyebabkan magma
menjebol sisi lemah di lereng gunung dan melontarkan hingga jauh, membentuk
sekelompok bukit kecil (hillocks) (Sofyan,2012).
Debris avalanches
tak mesti terkait erupsi. Hujan deras atau gempa regional juga dapat memicu
longsoran raksasa di lereng gunung api. Debris avalanches di Raung karena
erupsi yang eksplosif seperti terjadi di Galunggung dan letusan St Hellen, AS,
pada 1980. Debris avalanches di Raung yang mencapai 78 km dari kawah merupakan
yang terbesar di Indonesia (sofyan,2012).
Gunung Raung
merupakan bagian dari sistem kaldera raksasa purba. Raung berada di pinggir
dari sistem kaldera. Selain Raung, beberapa gunung api aktif lain yang juga
berada di pinggir sistem kaldera adalah Ijen, Merapi, dan Meranti. Kehebatan
letusan Raung pada masa lalu dicatat oleh Sri Margana, sejarawan dari
Universitas Gadjah Mada. Menurut dia, letusan Raung pada abad ke-18 menyebabkan
sisa peradaban Kerajaan Blambangan di Macan Putih, Kabupaten Banyuwangi, dan di
Kedawung, Kabupaten Jember, ikut terkubur (Wahw33d,2010).
”Peninggalan
kerajaan diperkirakan terkubur oleh abu vulkanik Raung dari dua kali letusan.
Pada 2010 kami menemukan fondasi bangunan kerajaan, gerabah, tombak, keramik,
uang receh, dan sebagainya, terpendam sedalam 1,5 meter di Desa Macan Putih.
Hingga kini masih banyak yang belum digali,” kata penulis buku Ujung Timur
Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan 1763-1813 itu (Wahw33d,2010).
Di antara deretan
gunung yang mengelilingi Banyuwangi, yakni Ijen, Merapi, Meranti, dan Raung,
Gunung Raung merupakan gunung yang paling dianggap sakral oleh masyarakat
Banyuwangi pada masa lalu, dibandingkan Ijen, Merapi, dan Meranti. Menurut
Margana, para penguasa di kerajaan pra-Kerajaan Blambangan sudah menjadikan
Gunung Raung sebagai pusat pemujaan. Salah satu indikasinya, ditemukan sejumlah
peninggalan tempat persembahyangan umat Hindu yang diperkirakan dibangun pada
abad ke-17 hingga abad ke-18. Di antaranya ada di Kecamatan Songgon dan Sempu,
Banyuwangi. Petilasan di Desa Jambewangi, Kecamatan Banyuwangi, misalnya,
hingga kini masih ada dan dirawat oleh warga setempat. Petilasan itu berbentuk
tumpukan batu dan berlingga menghadap ke Gunung Raung. Petilasan tersebut kini
masih digunakan oleh warga Hindu untuk bersembahyang (Sofyan,2012).
Letak
Geografis
Gunung Raung termasuk dalam deretan Pegunungan
Ijen, tepatnya di desa Sumber Wringin Kecamatan Sumber Wringin. Gunung Raung
memiliki pemandangan yang menarik serta hamparan flora dan berbagai jenis
satwa. Wisata ini sangat menarik dan menantang, khususnya wisatawan yang
mengemari pendakian gunung. Gunung ini terletak pada ketinggian 3.332 M Dpl
bertipe stratovolcano dengan titik kordinat antara 08° LU-07° LS dan 114° BB-021°BT. Hutan yang terdapat di Raung meliputi
kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan
Hutan Ericaceous atau hutan gunung. Gunung ini juga merupakan Gunung kawah
terbesar kedua di Indonesia setelah Gungung Tambora yang memiliki diameter
sekitar ± 2 km (Tantapala,2012).
Flora
dan Fauna
a)
Flora
Flora yang ada di Gunung Raung
beragam misalnya : pinus, cemara gunung, rotan, honje, pisang hutan,
semak-semak, pohon cantigi dan eddleweis(ekacitra,2010).
b) Fauna
Fauna yang ada antara lain : macan
kumbang, ular, tokek, ayam hutan, monyet, burung, elang, anjing, pacet dan
lain-lain(ekacitra,2010).
Kondisi
Masyarakat
Penduduk di sekitar
lereng gunung Raung mempunyai mata pencaharian sebagai petani, berkebun,
pencari burung, pencari kayu di hutan, pedagang dan lain-lain. Sebagian besar penduduk desa
sukosari sendiri menganut agama Islam. Sebagian kecil di antaranya beragama
lain, seperti Hindu dan Budha dan kristen, tetapi hanya sedikit sekali yang
menganut agama itu. Hubungan toleransi dan keseharian antar umat beragama di
sini cukup baik, terbukti dengan keadaan lingkungan yang damai tanpa adanya
gonjang-ganjing karena permasalahan agama.
Sebagian besar dari
penduduk bekerja di kebun kopi yang ada dilereng gunung raung, bahkan juga
mencari rumput untuk pakan ternak, kayu bakar, ada juga pencari burung yang
menangkap burung untuk diperjualbelikan. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan
pelestarian gunung raung dengan baik. Terbukti dari tidak pernahnya masyarakat
melakukan konservasi atau penyelamatan terhadap apa-apa yang ada di dalam
hutan.
Oleh : Angkatan Tebing Badai
0 Response to "Gunung Raung"
Posting Komentar